WIWIN DONGENG MANAGEMENT FANS

Berbagi Pengalaman bersama Anabel la Winson

Kawah Kepemimpinan Pelajar Kemendikbud 2017

Live with Passion by Winson the Storyteller Family

Corruption - The Poison In Our Air?

Timun Emas

Aksi Teatrikal Keuarga Pendongeng

Miss Wiwin & Anabel di Idenesia Metro TV

Winson The Storyteller Family

"Timun Emas" Folkrock Mini Opera

Que Sera Sera by Anabel Pendongeng Cilik

Dongeng Radio si Tupai dan si Monyet

Anabel La Winson - What a Wonderful World

Contoh Ice breaking dongeng rock & roll kak Sony Key & Miss Wiwin

Monday, April 20, 2009

Kacamata baru untuk murid baru




Minggu ini kelompok belajar bahasa Inggris lebih meriah dibanding minggu-minggu sebelumnya. Ada beberapa orang tua yang mengantar anaknya untuk mengikuti kegiatan kami. Suasana sangat ramai dan hangat. Melihat kondisi tersebut kami sangat bahagia sekali. Ternyata kegiatan yang sudah berjalan sekitar 3 tahunan ini mendapat respons yang baik dari anak-anak yang tinggal disekitar Ciganjur. Antusiame anak-anak begitu kental terasa dan bagi yang mengikuti secara rutin kegiatan ini kini mulai menampakkan hasilnya.

Ketika sedang sibuk mempersiapkan absen dan bahan pelajaran tiba-tiba ada seorang bapak muda menghampiri kami & memperkenalkan diri. Si bapak muda ini mengantar 2 orang murid baru, keduanya perempuan berumur sekitar 8 atau 9 tahun. Yang seorang adalah putrinya dan seorang lagi keponakan. Kedua anak ini ternyata mempunyai problem yang sama dengan mata. Yang satu berkacamata tebal sedang yang satu lagi belum. Bapak tersebut menjelaskan bahwa sang keponakan belum periksa mata karena alasan biaya. Akhirnya si anak harus duduk di deret paling depan karena semua benda dan temannya akan tampak seperti bayangan pada jarak 2 meter. Keinginannya mengikuti kegiatan ini sudah lama ingin diikuti namun karena alasan penglihatan dan perasaan rendah diri dengan kondisinya membuat mereka selalu menunda-nunda hasratnya. Pagi ini mereka nekad mendatangi kegiatan kami dan mengesampingkan alasan-alasan di atas. Sungguh pemandangan yang mengharukan. Dengan kondisi fisik dan ekonomi yang terbatas tidak menyurutkan antusiame mereka dalam belajar.

Dunia kecil komunitas belajar bahasa inggris ini seakan gambaran realita bangsa ini. Kemiskinan yang semakin meningkat dan ketidakacuhan disekelilingnya yang semakin menggila membuat semakin kecilnya kemungkinan terjadinya titik temu diantara keduanya. Mereka berjalan didunianya masing-masing seolah-olah everything’s well done. Tadi malam aku semakin prihatin ketika seorang teman melempar sebuah tema di facebook tentang kemiskinan yang dilihat di depan matanya dengan harapan mendapat respons positif dari pembaca namun yang terjadi malah sebaliknya. Respons yang datang malah seakan memojokkan si miskin. Ada yang berpendapat kenapa tidak bertani saja di desa mereka masing-masing. Ada juga yang mengatakan siapa suruh datang ke Jakarta dan beberapa pendapat lain yang miring terhadap si miskin. Mungkin yang berpendapat adalah orang yang berpendidikan tinggi dengan kondisi ekonomi lebih dari cukup atau bahkan tidak pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi miskin atau dimiskinkan oleh sebuah system dan tatanan hukum yang tidak memihak mereka. Mungkin yang berpendapat adalah orang yang tidak pernah merasakan sebagai buruh kecil yang di phk sementara kebutuhan keluarga tidak bisa ditunda tunda. Berbicara tentang kemiskinan sangat kompleks & rumit. Ibarat mengurai benang kusut kita bingung mau memulai dari mana. Yang mereka butuhkan bukan perdebatan melainkan solusi.

Malam ini aku dan istri merasakan keresahan yang sama. Kami bicara untuk mencari solusi demi mendapatkan sebuah kacamata bagi si murid baru. Berhubung kami adalah keluarga dengan penghasilan yang tidak besar maka perlu dicarikan alternative terbaik. Akhirnya diputuskan bahwa mulai hari ini kami mesti memotong uang belanja untuk disisihkan sampai dengan hari minggu depan. Dengan jalan apapun kami harus mendapatkan sebuah kacamata buatnya. Kami ingin tetap menjaga semangatnya yang menyala-nyala agar tidak padam. Kami ingin memberikan surprise baginya. Kami hanya ingin mengatakan bahwa kami juga mencintainya. Kami ingin melihat sebuah kebahagiaan tulus si anak ketika minggu depan bisa melihat dengan jelas dunia disekitarnya.

Menjelang pagi diskusi kecil ini pun berakhir. Kami berdua berpelukan dan kurasakan air mata istriku menetes dengan hangat didadaku. Air mata bahagia. Sejurus kemudian kami tertidur dengan pulas karena sebuah problem solved.


Kampung Tengah, 20 April 2009

No comments:

Post a Comment

Menggugat Sistem Pendidikan